Tentang [L] #CHAPTER 1
Dering alarm dari ponsel
hitam itu membangunkanku di rabu pagi, ku edarkan pandanganku menyapu seluruh
ruangan tamu yang sudah bertransformasi menjadi tempat tidurku. Tirai jendela
berwarna putih dengan tambahan warna emas di ujungnya tak lagi menutupi kaca
jendela yang menghadap ke jalan, ku rasa ibu telah menarik tirainya sejak subuh
tiba. Langit tampak berwarna abu-abu, semburat cahaya matahari yang mengintip
dari cakrawala telah mengusir kegelapan yang menyelimuti bumi, mengawali sebuah
hari baru yang menyongsong harapan dan impian bagi setiap nafas kehidupan.
Tubuhku
enggan beranjak dari sofa tempat beristirahatku tadi malam, terdengar suara
parau dari kayu-kayu yang menjadi tumpuan sofa berwarna coklat itu setiap kali
ku geserkan tubuh malas ini untuk mencari posisi yang nyaman, bersiap untuk
menutup mata kembali karena hari masih terlalu pagi, pikirku. Semilir angin pagi hari yang menyelinap di
sela-sela jendela menyapaku, aku selalu suka aroma udara di pagi hari, karena
begitu menyegarkan dan terasa nyaman saat ku hirup dalam-dalam. Udara pagi yang
ku hirup seakan mengalirkan energi-energi baru yang menggerakan seluruh bagian
tubuhku, seperti bahan bakar yang menggerakan ribuan mesin dalam sel-sel
penyusun tubuhku sehingga membuatku segera tersadar untuk memulai hari yang
baru.
Beberapa
detik kemudian terdengar nada pesan masuk ke nomor ponselku, tangan kananku
meraba meja persegi panjang yang berada tak jauh dari sofa. Ku genggam ponsel
hitam itu, sambil membuka pesan yang masuk. Rupanya dari Fadil, temanku.
“Hari ini presentasi dia, jangan lupa”
Begitulah tulisan pesan
singkat itu, ku hembuskan nafas panjang sembari mematikan ponselnya kembali. Yah aku sudah tahu, jadi tak perlu
diingatkan karena aku sudah tidak sabar menunggu hari ini datang jadi bagaimana
mungkin aku lupa, pikirku sedikit kesal melihat Fadil mengirim pesan yang
menurutku sangat sia-sia.
Ku geserkan badanku untuk
turun dari sofa, berjalan pelan mendekati jendela lalu ku pandangi sejenak
langit yang masih belum merona. Seperti enggan beranjak dari kemuraman malam.
Aku segera bergegas membersihkan diri dan bersiap-siap untuk melihat seseorang
yang selalu ku rindukan dalam malam-malam gelapku.
Matahari bergulir
perlahan menampakan keanggunan sinarnya, aku bersyukur hari ini cuaca sedang
berbaik hati padaku. Tidak terlalu terik, tidak juga mendung. Kepulan awan-awan
seperti kapas yang melayang di hamparan karpet biru, berarak, beriringan
mengikuti laju angin berhembus. Melihat awan-awan memicu kebahagian tersendiri
bagiku, sejenak aku berdiri di pinggir jalan seraya menatap awan-awan yang kini
telah berubah bentuk. Menyenangkan sekali.
Aku
tiba di pelataran kampus pukul sebelas siang, suasana sepi menyelimuti seluruh
koridor kampus, tidak ada yang berkumpul atau sekedar berlalu-lalang
disepanjang jalan kampus yang ku lewati. Mungkin semuanya sedang mengikuti
kelas-kelas super membosankan atau praktikum-praktikum yang sangat melelahkan.
Yah aku hanya menebaknya saja.
Setelah
lima belas menit berjalan mengitari kampus untuk mencari tempat kegiatan
presentasi itu dilakukan, kedua kakiku kini menjejak di depan sebuah ruangan
kecil dengan kaca tebal berada di depannya sehingga aku bisa melihat
keseluruhan ruangan tersebut dari luar. Rasa ragu perlahan tercipta dalam
benakku, haruskan aku masuk atau hanya mengamatinya dari jauh. Aku tidak cukup
percaya diri untuk menyaksikan presentasinya secara langsung, keraguan dan
ketidakpercayaan itu menahan tubuhku untuk tidak beranjak dari depan ruangan
berkaca itu. Tiba-tiba saja seorang lelaki yang mengenakan jas berwarna biru
membalikan badannya, sehingga ia menatapku, dan beradu kontak mata denganku.
Ia adalah lelaki yang
selalu ku panggil [L], aku terpaku dan membeku, seakan berember-ember es batu turun dari
langit mengguyur tubuhku. Ku rasakan detak jantungku berdetak begitu keras
hingga rasanya ingin melompat keluar. Ingin ku gerakan bibirku untuk memberikan
senyum kepadanya, tapi hal itu terasa begitu sulit sehingga aku hanya
menatapnya dengan perasaan tak menentu.
lelaki yang ku panggil [L]
itu seperti ingin menyapaku, tapi ia urungkan karena melihat diriku yang
berdiri selayaknya patung dibundaran jalan.
Ia membalikan badan kembali, dan memunggungiku. Aku berusaha
mengumpulkan seluruh kekuatanku untuk melangkah memasuki ruangan, meskipun rasa
malu dan tidak percaya diri selalu mendorongku untuk tidak masuk ke dalam
ruangan, aku tidak ingin menyesal karena telah melewati kesempatan yang mungkin
tidak akan terjadi untuk kedua kali.
Ruangan
itu terasa dingin dan tegang, mungkin karena ada beberapa dosen yang duduk
dibarisan terdepan menguji mahasiswa yang menampilkan presentasinya. Aku duduk
dibangku barisan paling akhir, memosisikan diri supaya tidak terlalu menampakan
diri karena tujuanku hanyalah menyaksikan presentasinya tanpa perlu diketahui
keberadaannya. Itu cukup bagiku.
Aku memandangi
punggungnya yang terlihat begitu lebar dengan setelah jas biru tersebut,
sepertinya ia memotong rambutnya karena aku melihatnya sedikit berbeda walaupun
tidak terlalu kentara perbedaannya. Ia bertambah keren menurutku. Ingin rasanya
ku berikan kata-kata penyemangat seperti motivator-motivator kebanyakan yang
berseliweran di televisi namun lagi-lagi rasa malu itu menahanku sehingga aku
hanya memanjatkan doa dalam hatiku, semoga doa itu tuhan sampaikan ke hatinya.
Setelah beberapa menit
berlalu, tibalah ia maju dan memaparkan presentasinya. Ekspresi wajahnya tak
mampu menyembunyikan rasa gugup dan tegang yang mungkin sedang menyerangnya, aku
melihatnya begitu lucu dan menggemaskan karena baru pertama kali ku lihat wajah
gugupnya. Ia memaparkan presentasi dengan baik dan lancar, setelah itu dosen
melontarkan beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan topik yang ia
presentasikan.
Ada
satu pertanyaan yang membuatku tersenyum, karena itu adalah pertanyaan yang
pernah aku ajukan padanya beberapa hari sebelumnya. Ia tampak terkejut
mendengar pertanyaannya, mungkin ia teringat padaku ? hahah. Tak ku sangka saat
aku menatapnya dan menunggu jawaban apa yang akan keluar dari mulutnya, ia
tersenyum kepadaku. Ya, ia benar-benar memberikanku senyuman disela-sela presentasinya.
Aku hampir tidak mempercayai apa yang terlihat di depanku, namun ia benar-benar
tersenyum, senyuman manis yang hanya dimiliki olehnya.
Jika
kau bisa melihatnya mungkin bunga-bunga di dalam hatiku saat ini sedang
bermekaran, menebarkan aroma-aroma kebahagiaan dan perasaan aneh yang tak mampu
ku artikan. Senyumnya kembali mengembang untuk mengakhiri presentasinya yang
begitu luar biasa bagiku. Ku gerakan kedua kakiku untuk melangkah meninggalkan ruangan
presentasi itu, bagiku ini sudah cukup. Melihatnya tersenyum, tertawa dan
merasa lega setelah presentasi yang selama ini sangat merisaukannya sudah
terlewati tanpa ada hambatan yang berarti.
Ku hentikan langkahku sejenak, lalu
berbalik untuk memandanginya sekali lagi, ia yang ku panggil [L] tengah
berbincang dengan teman-temannya, terlihat bahagia. Ya ia sudah bahagia. Aku
tidak perlu menganggunya apalagi merusak kebahagiaannya, sebelumnya ia pun
bahagia tanpa mengenalku. Sehingga ada atau tidaknya diriku tidak akan
mempengaruhi dirinya dan dunianya. Kebahagiaanku ? aku lah yang
mengendalikannya. Ada atau tidak adanya dia, cukuplah aku saja yang tahu apa
yang akan ku rasakan.
Komentar
Posting Komentar